Minggu, 29 Agustus 2010

=== Refleksi Diri ,,, sambil menunjuk diri ===

Kejujuran merupakan otoritas kita dalam bertingkah laku, karena dengannya kita akan tahu sejauh mana kesejatian diri mengungkap kebohongan hati. Membuka topeng kepalsuan yang menjadi tabir misteri. Memang sulit adanya, ketika kita dihadapkan pada sebuah fenomena dimana terdapat banyak gejolak yang mengundang hati menyelimuti keberadaan diri, sehingga yang ada bukanlah satu kejujuran, melainkan sebuah kebohongan hati demi menutup kepalsuan diri dengan jubah ilusy.

Dari konteks ini, sudah sangat jelas menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan seseorang terkadang hanya ingin mendapat rasa simpati dari banyak kalangan. Biar dianggap sebagai manusia perfect dan semacamnya. Dan tindakan seperti inilah yang sering mengundang banyak problema, karena ketika diaplikasikan dalam bentuk nyata, maka terbukti adanya kontradiksi dari realitas yang ada. Kenyataan menunjukkan seperti ini, sedangkan kebohongan datang mewarnai kenyataan itu. Sehingga bukanlah kepastian yang didapati, melainkan ketidakpastian yang terjadi.

Disinilah letak kepribadian kita diukur, sampai sejauh mana kita bisa mengolah diri pada tingkat kedewasaan. Dalam artian, bagaimana kita bersikap layaknya sebagai insan sejati. Bukan sebagai pecundang sejati dengan menutup mata hati dalam mencari kemenangan diri. Tentunya ini akan kembali kepada kejujuran hati kita, sampai dimana kita mengolah kejujuran itu? Dan dari sudut mana kita dapat mengambil sikap dalam bertindak sewajarnya, idealnya sebagai manusia biasa. Tidak merasa tinggi dihadapan yang rendah, juga tidak merasa kuat dari yang lemah. Karena pada hakekatnya, kita adalah satu tanah antara yang lainnya. Kita tetap akan saling membutuhkan, memerlukan, baik yang kaya butuh tenaga dari yang miskin, juga yang miskin butuh dana dari yang kaya, dan begitu seterusnya.

Kawan...Dihadapan Tuhan kita semuanya tidak ada yang lebih berarti, semuanya sama. Mulai dari yang kulit hitam sampai pada yang berkulit putih sekalipun. Tuhan tidak pernah melihat manusia dari sisi luarnya, akan tetapi yang dilihat Tuhan dari manusia itu adalah sisi batinnya. Karena disitulah letak keimanan seseorang dimainkan, pabila hatinya bersih dari segala semburat warna-warni dunia, maka sudah dapat dipastikan seseorang tersebut akan selamat dari siksa yang menantinya. Karena setiap tindakan yang kita lakukan, muaranya akan bergantung pada kemauan hati kita. Dan itu juga tidak akan terlepas dari jeretan nafsu yang membelenggu jiwa kita. Tergantung bagaimana kita menggunakan semua apa yang mengakar dalam sekujur tubuh itu. Kalau kita menggunakannya untuk masalah kepentingan dunia, maka jelas imbalannya tidak akan lepas dari keduniaan. Tetapi kalau kita menggunakannya untuk masalah kepentingan akhirat, maka yang pasti imbalannya juga tidak jauh dari keakhiratan.

Lain halnya kalau kita menggunakan kepentingan-kepentingan itu pada dua sisi. Yaitu; sisi duniawi dan sisi ukhrawi. Maka kita akan mendapatkan sebuah nilai ganda. Yang artinya, selain kita mendapatkan imbalan dari pekerjaan dunia, juga nantinya kita akan mendapatkan bekal hidup menuju akhirat. Karena kita melihat sebuah kehidupan bukan cuma untuk dunia semata, melainkan adanya hidup yang sebenarnya di akhir masa. Nah, disinilah titik point yang sebenarnya penulis ingin tekankan kembali, disaat manusia mulai membungkam kejujuran hatinya pada kebohongan demi mencapai sesuatu yang ia impikan. Walau terkadang keluar dari real agama. Mereka tetap melakukannya, karena adanya sebuah asumsi yang mengusik hati mereka; "Membuka kebohongan hati akan mencapai keberhasilan yang diminati. Tetapi, menutupi kebohongan hati sama halnya menolak keberhasilan yang diingini".

Itulah akibat ke-egoisan diri manusia. Menjustifikasi semua hal dalam kebohongan hati. Coba kalau kita ingat sejarah yang telah ada, dimana sebuah kebohongan terus berkoar, adalah untuk mencari sebuah kemenangan dengan menutupi kejujuran hati yang selalu terngiang. Padahal, kemenangan yang diperolah dengan jalan mengunci kejujuran hati dan membuka kebohongan hati demi mencapai kesuksesan yang di ingini, tidak lain hanyalah sebuah keberhasilan yang jauh dari ridha sang Ilahi. Karena Tuhan tidak akan pernah merasa bangga melihat seorang hambaNya meracik sebuah kesuksesan dengan jalan membungkam kejujuran hatinya. Semestinya dengan kejujuran itulah kita bertindak –walau seribu halilintar akan menampar-- demi mencapai suatu keberhasilan yang hakiki, maka apalah artinya semua bahaya itu.

Biarlah tubuh yang tercabik-cabik oleh panasnya petir yang menyambar, tapi yang terpenting, kejujuran hati kita tetap menjadi kunci utama dalam membuka pintu keberhasilan. Karena dengan jalan itulah, Tuhan akan tersenyum melihat hambaNya bertindak di jalan-Nya.

'Ala kulli hal, semua tindakan manusia itu akan bergantung kepada kehendak hatinya, tergantung nanti bagaimana kita bisa mengelola dan menjalankan gejolak hasrat yang merajalela. Yang jelas kita semua tahu, bahwa setiap perbuatan yang dilakukan manusia dimuka bumi ini tidak akan bisa ditutupi oleh kebohongan hati, karena teropong sang Ilahi akan terus menembus tindak tanduk keberadaan kita di dunia. Mungkin manusia tidak akan pernah tahu kalau dirinya telah tertipu, tapi Tuhan, akan selalu tahu dan bahkan maha tahu...

Jadi, dari tinta inilah penulis sangat berharap sekali kepada pembaca sejati, agar tulisan ini tidak hanya menjadi nyanyian sunyi di malam sepi, melainkan sebagai jalan pembuka hati menuju kasih sang Ilahi. Karena hanya kepadaNya-lah, akhirnya kita semua akan kembali.

Wallahu A'lam......

http://isyarathati.blogspot.com/2006_11_01_archive.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar